
Dalam padatnya kegiatan peribadatan ada "kekeringan" dalam menjalankan kegiatan yang dilakukan.
Masyarakat religius belum tentu memiliki kehidupan yang secara substansial menerima kehidupannya dengan penuh lapang dada. Keseharian disibukkan memenuhi kebutuhan biaya hidup yang tidak kunjung terpenuhi, dipenuhi dengan tuntutan beragama agar pandangan orang lain berimbang antara kebutuhan lahirian dan kebutuhan bathin.
Beberapa waktu lalu, ada kegiatan Ramadhan Ekslusif yang diselenggaran oleh lembaga pendidikan di wilayah Kepanjen. Penulis melihat ada sebuah formalisasi keberagamaan dan keterbatasan "akses" ibadah bagi komunitas yang bukan anggota. Disinilah kita dihadapakan kembali pada formalisasi beragama, seolah bahwa untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Esa harus memiliki "kartu anggota" yang tentu bisa melaksanakn kegiatan peribadatan dengan pelayanan yang memuaskan sesuai dengan cost yang dikeluarkan.
Kegamangan beribadah semacam inilah yang harus menjadikan kita menyadari untuk "berbuat" menyadarkan masyarakat sekitar kita untuk memudahkan masyarakat dalam "mengakses" peribadatan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun karena esensi peribadatan bukan banyaknya harta yang dinilai melainkan tingkat ketaqwaan yang dipandang oleh-Nya. Mampukah kita berbuat dan mengajarkan nilai peribadatan yang substansi ?