Sepuluh hari sudah berlalu, pembawa misi
kesabaran dalam setiap keputusan dan gerak langkah kesehariannya. Kabar duka
itu membawa para salik (baca:murid)
seakan belum percaya dengan mangkatnya Sang
Guru. Kini kita (baca:murid) hanya meyakini dan percaya bahwa rencana Tuhan
datang lebih awal dengan membawa hikmah
yang tiada berkesudahan. Mangkatnya menunjukkan bahwa Sang Guru tidak sekedar sebagai pembimbing rohani dan jiwa-jiwa
yang kering tapi lebih dari itu sebagai penyebar kebaikan sepanjang
kehidupannya. Diam Untuk Kesalehan Sosial-Part 2
Sejak perjumpaan spiritual Tahun 2001 dan
sampai kini penulis menjadi manusia dewasa yang terus belajar dalam mengemban
misi kehidupan bermanfaat untuk sesama
banyak cerita dan kenangan yang telah dialami baik dalam perjumpaan fisik
maupun melalui alat komunikasi modern kekinian. Kisah yang suatau masa akan
menjadi cerita perjalanan spiritual
personal yang tiap muridnya memiliki kisah dan cerita masing-masing dengan
aneka ragam dan pola spiritual yang tidak mungkin sama satu dengan lainnya,
karena setiap murid memiliki karakter dan perjalanan jiwa yang unik tidak
mungkin dalam perjalanan spiritualnya sama dalam mengenal-Nya.
Maha Guru (cek: kbbi) dan Sang Guru adalah sosok yang terus selalu menggelorakan
jiwa kering untuk berbuat kebaikan sejak dalam akal fikiran. Kebaikan tidak
akan terwujud apabila dalam sejak fikiran saja masih ada niat-niat kejahatan,
inilah pentingnya dari sebuah fikiran positif yang terus menerus di ajarkan
serta digelorakan dalam diri jiwa-jiwa yang kering. Seperti biasa setiap hari sebagai
mahasiswa (santri kuliah) banyak santri-santri kuliah yang biasa diajak
anjangsana ke pelosok desa melakukan riyadhoh
untuk berdzikir. Pagi itu Sang Guru bersama Maha Guru mengajak penulis dalam
sebuah perjalanan spiritual bersilaturahim ke pengasuh sebuah pondok pesantren
modern besar khusus putri, dengan mengendarai kendaraan warna merah buatan
pabrikan Jepang, kendaraan melaju keluar dari kompleks pesantren menuju arah selatan. Pagi di dalam kendaraan hanya ada Maha Guru,
Sang Guru dan penulis di tengah perjalanan diselingi bumbu guyonan yang di
lontarkan Maha Guru kebetulan waktu itu menceritakan tentang kelucuan sebuah rombongan perjalanan
dari keluarga santri Jawa tengah tempat asal kelahiran penulis. Tidak terasa
perjalanan sampai di tempat yang dituju, langsung menuju kediaman pengasuh
pesantren modern dan disambut hangat dengan hangat Maha Guru di rangkul dan di
peluk hangat sebagai salam kehormatan begitu juga Sang Guru dipeluk hangat,
giliran penulis mau mencium tangan pengasuh pesantren tersebut dengan
menundukkan badan dan kepala sebagai etika atas pembacaan kajian kitab Pelita
Penuntut (Ta’limul Muta’alim) tiba-tiba malah di peluk
hangat juga oleh Kyai yang jaringannya sudah go internasional ini, maha suci
Allah atas segala kehormatan yang tidak disangka (allahumagfirlahum). Pak Abdurrahman Syah Jendela Internasional Kita
Sebagai santri
kuliah yang dalam berfikir dan bertindak selalu mengedepankan akal
rasionalitas melihat dan mendengarkan pembicaraan yang sangat gayeng di selingi
dengan sedikit candaan tentang tragedi
katering yang menimpa jama’ah haji
pada waktu wukuf di Arafah. Benar apabila berkumpul dengan para sholih maka cara bertutur kata, menyapa
dan bertukar fikir selalu di barengi dengan ketulusan dan kebaikan yang
menyelimuti dan bertaburan hikmah.
Maha Guru dan Sang Guru seolah-olah mengajarkan secara langsung tentang tata
cara bersilaturahim, bertutur kata dan berdiplomasi dengan didasari untuk
saling mendoakan dan keberkahan. Tidak terasa silaturahim sudah hampir dua jam,
dan ada pelajaran berharga tentang makna Fikir... 持续 Part 2
Sudut Itu Bukan Sekedar Pojok
Sudut Itu Bukan Sekedar Pojok