e6GvGCdbTzFsmYvH0IfUvnO72MWscluP9AUkD1SU

HARLAH PM11 DAN UJIAN MENJAGA TOLERANSI

Sejak didirikan organisasi ekstra kampus ini menjadi organisasi yang tidak hanya mencetak kader (baca:generasi bangsa) militansi dalam menggunakan rasionalitas (akal-budi) dan menjaga kearifan lokal sebagai nilai perjuangan yang tidak dimiliki oleh organisasi kemahasiswaan lainnya...upss...terkadang sampai disini timbul kesombongan yang perlu karena meniadakan organisasi mahasiswa lainnya...but well ini yang kita yakini dan sahabat-sahabat rasakan..hehe.
Organisasi ini unik ditengah kehidupan kampus-kampus berbiaya negara atau bahkan hidup tumbuh kembang di kampus-kampus berbiaya luar negeri (baca:swasta) dari ujung jalan anyer Jakarta sampai ujung jalan penarukan di banyuwangi melewati lima provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa  Timur, bahkan kini sudah berdiri cabang-cabang organisasi hampir diseluruh kabupaten atau kota di bumi nusantara (Indonesia).
Kejahatan terorganisir akan bisa dikalahkan oleh kebaikan yang terorganisir..hehe...jargon seperti ini selalu terngiang ketika melihat realitas pola hidup kekinian. Masyarakat yang semakin terbuka, pemerintahan (baca:birokrasi) yang terus dipaksa untuk menjadi pelayan dan meskipun realitas berbicara lain karena masih saja ada birokrat yang bukan melayani tapi masih minta dilayani bak seorang raja yang memiliki ribuan hektar tanah kekuasaan karena rakyat adalah para pembayar pajak alias ngontrak, paradigma (cara pandang melihat kemanusiaan) yang masih borjuis inilah menjadikan birokrat masih bermental baja hitam (menolong ketika sudah ada korban)...hehe.. Belajar Kepada Pembelajar
Kapan kesejahteraan yang diimpikan oleh anak bangsa bisa diraih ? pertanyaan ini semakin hari semakin hilang karena anak bangsa (baca:mahasiswa) kini sudah tidak memperdulikan lagi atas realitas kehidupan sekitarnya bahkan menjadi anak bangsa yang menomor satukan kepentingan individu diatas kepentingan yang lebih besar. Sekedar insyaf dan sadar saja tidak cukup atas keprihatinan pembangunan yang menambah jarak ketimpangan kaya dan miskin yang tidak bisa di-zero-kan dalam waktu singkat. Kini (baca:mahasiswa) kalah pamor dengan komunitas keagamaan tertentu yang selalu melakukan aksi (demo) untuk menyuarakan ketidakadilan versi agama, dalam hal ini anak bangsa (mahasiswa) tidak bisa hanya berpangku tangan dengan mencaci dan memaki melalui media-media sosial atas tindakan yang dilakukan komunitas agama tertentu yang selalu menjajikan surga dan neraka disetiap perjuangan aksi mereka. Ditengah hegemoni kaum agamawan yang berubah menjadi parlemen jalanan, anak bangsa (mahasiswa) kini tidak lagi melihat realitas parlemen jalanan sebagai medan perjuangan untuk menyuarakan ketidak adilan...hehe...mungkin kini lebih asyik bermedia sosial dan menyuarakan kegalauan atas derita hidup individu yang diembannya sejak menjadi mahasiswa.
Aksi menyuarakan ketidakadilan tidaklah perlu dengan banyaknya massa (orang), aksi nyata dalam mengisi kehidupan di dunia kampus bisa dilakukan dengan sekedar diskusi ringan atas pembacaan realitas sosial masyarakat, satu atau tiga orang melakukan aksi (turun jalan) menyuarakan ketidakadilan akan lebih efektif daripada sekedar nongkrong-nongkrong di warung kopi, caffe bahkan di rumah-rumah ibadah untuk berdiskusi basa-basi seakan-akan menjadi malaikat pembawa keadilan...hehe...seperti ajakan makar ya...well pada dasarnya semakin banyak berdialog dan berdiskusi itu sudah lebih dari sekedar menggugurkan kewajiban sebagai anak bangsa (mahasiswa), tentu dialog yang menyuarakan ketidakadilan. Valentine, Pilkada dan Perubahan Iklim Media Sosial
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau kiai saya menyebutnya Pergerakan Mahasantri Islam Indonesia (PMII) maklum dulu kuliah sambil mencari berkah di tempat suci (baca:pondok pesantren). PMII kini dan besok akan mengalami persesuaian dengan perkembangan zaman dan realitas masyarakat majemuk yang peran dan tantangannya terus akan dihadapi oleh setiap kader baik ketika berproses maupun ketika kelak menjadi alumni. Kini zaman berubah apabila kader hanya mempersiapkan dirinya menjadi sebuah entitas terbatas bahkan menjadi komunitas yang mengandalkan uluran tangan pendahulunya (alumni) maka sejak itulah matinya kreatifitas. Sudah tidak relevan lagi ber-PMII hanya mengandalkan jejaring Eksklusif dengan sikap memisahkan diri dari masyarakat dan pergaulan internasional.
Kini media sosial dan realitas masyarakat dihadapkan dengan pudarnya toleransi antar umat beragama, antara agama dan sesama anak bangsa. Rasa memiliki bangsa (Cinta Tanah Air) semakin tidak ada gaungnya disuarakan lantang dari anak bangsa (mahasiswa). Peran terkecil atas ber-PMII adalah menjaga dan merawat ke-Indonesiaan dengan selalu mengedapankan sikap Toleransi dan Moderat dalam melakukan interaksi bermasyarakat, PMII tetaplah PMII tidak mungkin menjadi organisasi sekedar perkumpulan biasa yang berisi kader-kader yang tidak mampu melakukan gerakan-gearakan realistis dalam menjaga (toleransi, moderat) karena itulah kita tidak boleh diam berjamaah (silent majority) sebagai warga PERGERAKAN.  
Tulisan ini sebagai refleksi di HARLAH PMII ke-57 Tahun 2017, setelah melihat sebaran foto penulis (seperti gambar diatas) sekitar enam tahun lampau di tembok facebook sebagai warga yang terus bergerak tidak akan berhenti menyuarakan Ke-Indonesiaan bukan Ke-Araban, Ke-Chinaan atau bahkan Ke-Alienan (bangsa langit)...hehe..tetaplah kita melakukan gerak positif sebagai kader dan alumni dimanapun kita berpijak sebagai warga PERGERAKAN.

Selamat HARLAH, ILOVEU PM11 berkah untuk INDONESIA dimasa depan.
Related Posts

Related Posts