Hari ini semua umat muslim dibelahan dunia merayakan perayaan hari
raya idul fitri, hari raya tidak sekedar dimaknai sebagai penanda bahwa berakhirnya
puasa sebulan penuh tetapi lebih dari itu bahwa hari raya bagian yang tidak
bisa dipisahkan dari tradisi, budaya dan bahkan menjadi sebuah nilai-nilai
luhur dari ritual keagamaan itu sendiri.
Lebaran kali ini berbeda dengan lebaran puluhan bahkan ratusan tahun
sebelumnya, disetiap daerah memiliki aktivitas yang berbeda-berbeda dimana tradisi anjangsana masih tetap menjadi kebiasaan
TETAPI pola interaksi berbeda dibandingkan dengan hari raya sebelumnya. Apa
yang membedakan dengan hari raya sebelumnya sehingga perbedaan itu sangatlah
dirasakan, pertama Corona Virus
Disease alias Covid 19 menjadi tamu baru ditengah perayaan hari raya dia
menjelma bak “teror” yang mampu menembus alam bawah sadar umat manusia untuk
berbuat dengan segala bentuk “keunikannya” hingga menjadi menu utama mengalahkan
menu kaleng legendaris merk ibu dua anak..,alias kaleng Khong Guan...hihi, kedua interaksi anjangsana tidak kurang dari lima menit dengan
mengedepankan aspek kualitas waktu dan efektifitas pertemuan tidak lagi ber “basa-basi”
khas njagong dan berlama-lama sambil menghabiskan isi kaleng legendaris dengan
isi yang tidak sama dengan gambar dikaleng..hehe, ketiga cuci tangan dan membawa hand sanitizer menjadi barang
penting selain hand phone sebagai barang bawaan utama ketika
bersilaturahmi..hoho, keempat lalulintas
jalanan sepi nyaris tak terdengar suara raung bising kendaraan yang terdengar
suara itik-itik sedang mencari makan..wowow.
Pola interaksi apa yang akan terjadi seminggu pasca perayaan hari raya
? mungkinkah masyarakat akan kembali beraktivitas sedia kala ? sedangkan trend
kasus positif atau confirm+ corona baru terus bermunculan dan grafiknya semakin
menanjak tidak lagi melandai apalagi menurun. Cuti dan mudik lebaran ditiadakan
bagaimana dengan tempat rekreasi ? bagaimana dengan pusat-pusat belanja ? jawabnya
hanya setiap individulah yang bisa menentukan buka atau tutupnya tempat-tempat
tersebut. Himbauan demi himbauan tidak akan menjadi realisasi nyata bila
kesadaran-kesadaran individu rendah, disinilah pentingnya pelibatan partisipasi
masyarakat dalam menggerakkan kasadaran kolektif individu-individu.
Meminjam istilah Goenawan Muhammad bahwa SUNYI itu menjadi satu gaya
hidup baru karena sunyi menjadi jalan “menyatunya” manusia dengan alam. Para
sufi menjalani hidup dengan menempuh jalan sunyi pun begitu Nabi Muhammad SAW
menempuh jalan sunyi di gua hira hingga menjadikan Islam sebagai jalan hidup
(way of life) pengikutnya. Semua manusia memiliki potensi untuk mengambil jalan
“sunyi” sehingga dirinya betul-betul menemukan jati dirinya dan menjelma
menjadi pribadi yang sadar pentingnya hidup ramah dengan alam. Konon lingkungan yang bersih dan
sehat itu dibangun dari jiwa-jiwa yang bersih, jiwa yang fitrah “suci” dalam
perkataan maupun perbuatan.
Aneka rupa virus telah tumbuh dan pergi SARS, MERS bahkan ada virus
yang tetap masih bertahan seperti HIV-AIDS dan hidup berdampingan dengan kehidupan nyata, artinya manusia mampu beradaptasi dengan virus dan memiliki kemampuan logika untuk terkena virus atau tidak. Kini Covid 19 telah merubah gaya
hidup hedon (hambur-hambur), tidak peduli lingkungan, tidak peduli kesehatan
dan kebersihan menjadi sebaliknya. Maka jalan terbaik menyambut hidup baru
pasca hari raya adalah mentradisikan kebaikan-kebaikan ramadhan setelah sebulan
penuh menjadi tempat menempa diri sebagai jalan “SUNYI” untuk diduplikasi dalam
kehidupan sehari-hari sehingga setiap individu mampu hidup HARMONY WITH COVID
19 menyambut NEW NORMAL !.
Selamat Hari Raya, Mohon Maaf atas Segala Khilaf Maaf Lahir dan Bathin
!
Jangan Lupa Tetaplah NGOPI !
temukan juga berbagi pengetahuan (sharing of knowladge) di Masruri Mahali Channel
Newest
Older