Pagi ini waktu menunjukkan pukul 06.30 Waktu
Indonesia Benar, ups..bukan waktu Indonesia bercandanya cak lontong lho
ya..hehe.
Matahari masih “malu” menampkakan diri dan
cuaca masih semilir angin sejuk pagi, beberapa orang tua masih hilir mudik mengantarkan anak-anaknya
berangkat ke sekolah dasar, ya begitulah suasana setiap pagi di halaman rumah
karena sekolah dasar hanya lima langkah dari rumah..hehe
Sedekah dari dahulu masih model-model
klasikal dan manual bersusah payah mendata dan mencari para “dhuafa” setelah
didata dikumpulkan dalam satu forum dengan rangkaian acara basa basi
sambutan-sambutan dari tokoh “donatur”, pejabat pemerintah, dan biasanya ada
juga numpang sambutan dari tokoh politik..hehe..tidak ada masalah dalam sedekah
dengan sistem manual ataupun sedekah dengan cara-cara konvensional karena niat
baiklah yang menentukan kebaikan dari sedekah itu, bila perlu di galakkan, di
publikasikan gegap gempita sedekah agar kaum miskin, anak-anak terlantar dapat
dipelihara dengan baik ditengah gegap gempita tahun politik dan sebaran berita bohong (hoax) menjadi gaya hidup masa kini.
Living Harmony With Disaster
Zaman Now, tidak sedikit dari kita yang ber”inovasi”
dalam mengembangkan kebaikan-kebaikan ibadah. Ibadah tidak dilihat sebagai
kegiatan yang kaku dan dogmatis semata, apalagi ibadah di fahami hanya sebatas
kemampuan berorasi di mimbar-mimbar masjid, di podium-podium panggung pengajian,
ditempat-tempat tertentu dan terbatas dengan ruang dan waktu. Beragama bila
hanya sebagai aktivitas “kaku” dan tidak mampu bertransformasi dengan
perkembangan zaman akan menjadikan beragama hanya sebatas “pengakuan” bahwa
dirinya yang terbaik dan menafikan apa yang dilakukan orang lain adalah keliru
karena dianggap sesat dan bahkan mampu mengkafirkan sesama pemeluk agama, bila
lisan sudah tidak mampu lagi menahan untuk mengkafirkan dan menyatakan sesat
kepada sesama pemeluk agama maka disitulah bahwa beragama hanya didasarkan nafsu
belaka bahkan mungkin beragama sebagai kedok menyembah setan...semoga kita
terhindar dari lisan yang mudah berucap sesat dan kafir terhadap pemeluk agama
seiman.
Ya begitulah...kenapa mencoba mengangkat
tentang lisan yang mudah mengkafirkan, karena beberapa hari yang lampau ada
seorang teman yang menyatakan bahwa “sedekah bumi” yang dilakukan oleh
orang-orang disuatu desa adalah tindakan murtad dan sesat, tulisan ini adalah
sedikit dari sebuah jawaban bahwa pentingnya beragama dengan menggunakan akal bukan dengkul. Tradisi kebudayaan masyarakat yang sudah bertahun-tahun dilaksanakan
dianggap sesat, konon si pemilik lisan yang mudah mengkafirkan ini belajar
agama dari Facebook, Whtasapp Group dan Mbah Gugel..jelaslah bahwa bila orang
beragama dengan ber”guru” hanya mengandalkan mesin robot Teks gugel akan
ditemukan pemahaman yang keliru dan disinilah pentingnya hidup di BUMI bukan
hidup dengan BUMI LAYAR DATAR..
Menyembah WhatsApp Memuja Facebook
Sedekah Bumi bisa menjadi pintu awal
pertentangan kebudayaan dan agama bahwa kini ada manusia-manusia baru yang
beragama dengan sangat sempit dan penuh kebencian, istighfar (memohon ampun
pada-Nya) hanya sekedar sampai ditenggorokan tidak sampai dalam laku dan sikap
perilaku keseharian, apalagi sampai mampu menghayati amalan-amalan kebaikan
agama karena lisannya dan hatinya sudah penuh dengan KEBENCIAN.
Bila kita membiarkan media sosial (facebook,
WA, BBM, Twitter, Website, dll) diisi oleh ucapan, umpatan, status dan hal-hal
yang tidak lagi mengajak kebaikan maka yang terjadi adalah kesombongan dan
keangkuhan yang hadir dalam aktivitas bersosial media, padahal media sosial
lahir untuk memudahkan tersampaikannya silaturahim menyambung dan memperbanyak
teman dan memperbesar volume manfaat. Kini DIAM tidak lagi relevan bila para perusak
ajaran agama bertebaran dan menyebarkan terus menerus api permusuhan dengan
memproduksi ulang berita-berita palsu, do’a-do’a kebencian dan caci maki sumpah sampah dari lisan yang tidak bertanggungjawab...bersambung
Valentine, Pilkada dan Perubahan Iklim