Siang ini dilantai 5 kampus
orange ini (anak brawijaya pasti paham dimana itu kampus orange)..hehe..tetiba
ingin begitu saja menuliskan sesuatu yang “sekelebat” saja muncul untuk
sesegara mencatatkannya..sambil terkekeh melihat viral kekiniaan se-ekor Bebek sebuah
jelmaan malaikat yang berlalu lalang dijalan Ibu Kota pada minggu pagi hari car
free day..ups.
Cuaca mendung, hujan belum
mau turun tapi secangkir plastik kopi hitam baru saja habis menemani istirahat,
sehat bukan siang kita ? indikator sehat sangat sederhana, karena kita sudah
NGOPI...hehe. Baca: Touring Pagi Antara Espresso dan Gusti Allah
Siapa yang tidak kenal
dengan Pendekar 212 kapak geni “Wiro Sableng”, tokoh fiksi Novel Karya Bastian
Tito bukan Tito Karnavian lho ya..hehe. Tokoh fiksi ini melegenda menjelma
menjadi kekuatan cerita yang nyaris menjadi sebuah cerita legenda. Sinto Gendeng
guru terbaik dalam mengajarkan nilai-nilai moral dan etik bagi masa dewasa Wira
Saksana hingga si murid terkenal menjadi seorang pendekar berajah 212 ditelapak
tangannya. Setiap musuh-musuhnya di kalahkan maka “stempel” 212 akan muncul di
mana letak kelemahan para musuhnya, dialah sosok pendekar berstempel yang mampu
memberi tanda bahwa yang sudah distempel 212 adalah musuh-musuhnya yang sudah
dikalahkan dalam sebuah pertarungan.
Stempel 212 menjelma menjadi
sebuah branding “merk” yang terus dipelihara oleh sekelompok manusia untuk menjelma
menjadi kekuatan nyata. Kekuatan nyata yang berawal dari cerita fiksi menemukan
momentumnya ketika semua merasa ingin menjadi “pendekar” meski tidak membawa
kapak geni. Kata “pendekar” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
orang yang gagah berani (suka membela yang lemah dan sebagainya). Orang yang
gagah berani suka membela yang lemah kini bisa jadi muncul dari
komunitas-komunitas masyarakat disekitar kita.
Masih segar diingatan kita
ketika ada seorang anak yang menolong orang dewasa tanpa pamrih dalam sebuah
bencana sedangkan orang dewasa baru tersadar bahwa anak penolong itulah seorang
“pendekar” sesungguhnya. Anak kecil “berjualan” sayur kangkung untuk membiayai
sekolahnya sedangkan si Ibunya dalam keadaan sakit parah dan si Ayah sudah
tidak bisa bekerja lagi akibat kanker paru, bagi tetangga-tetangganya si anak
kecil itulah “Sang Pendekar” sesungguhnya. Seorang anak gadis merantau jauh
hanya untuk menghidupi keluarganya yang hidup serba keterbatasan ekonomi hingga
bekerja melampaui batas-batas negara dengan bertaruh nyawa, bagi keluarga si
gadis adalah “Pendekar” sebenarnya. Baca Juga: Menyembah WhatsApp Memuja Facebook
Zaman Now, 212 angka favorit
media sosial. Siapapun berpendidikan setinggi apapun, bekerja apapun pastilah “pernah”
membaca melihat angka itu. Apa hebatnya angka DUA SATU DUA bagi para pengguna
Medsos ? hanya Tuhan dan para pemujanya yang TAHU. Simbol telah berubah, 212
dari stempel pendekar kapak geni kisah fiktif telah berubah menjadi
simbol-simbol baru yang menguasai jagad media sosial. Penatnya media sosial memberikan
pilihan agar kita mampu memilah dan memilih berita terbaik, bahkan memilih agar
kita berkomentar ataupun tidak adalah kemampuan yang dimiliki oleh
setiap insan manusia tanpa terkecuali. Semoga simbol-simbol baru yang
bermunculan tidak merubah dari makna kata PENDEKAR itu sendiri. Andalah PENDEKAR sesungguhnya !!!.
Baca Juga : Yuk !!! Sedekah Air Hujan Untuk Bumi
Hujan rintik-rintik mulai
turun, pertanda bahwa hujan akan turun. Hujan selalu membawa berita baik bagi
para pemanen air hujan..apa itu memanen air hujan, apa kabar Gerakan Memanen
Air Hujan Nasional ? tahun 2016 penulis pernah belajar di Universitas Gajah
Mada tentang Memanen Air Hujan...hehe..intinya hujan adalah BERKAH..apa itu
MEMANEN AIR HUJAN ? jangan lelah ya bagi para “Pendekar” ikuti tulisan
berikutnya...selamat sore, adzan ashar sudah terdengar dari sudut-sudut kota. Sekian salam hangat...