Pagi sejuk guyuran hujan membasahi jalanan
dari Gedangan ujung wilayah selatan Malang. Perjalanan kembali ke Ibu Kota Kabupaten sambil dikawal
kepala suku pedalaman dengan menunggang kuda besi ditengah hujan yang tidak
kunjung reda. Jam digital handphone menunjukkan pukul 02.00 Waktu Indonesia
Barat tepat hari sudah berganti dari Sabtu menjadi Minggu tanggal 30 bulan Desember
tahun 2018. Kehadiran penulis bersama rombongan berkendara roda empat bermesin rakitan
Jepang dengan logo huruf T gemuk, bagian dari menapaki jejak-jejak baru membangun peradaban ..hehe
Acara ini merupakan rangkaian kegiatan Puncak
Menyapa Malam Minggu Kaum Milenial yang sudah berkeliling di 10 (sepuluh)
kecamatan selama bulan September sampai dengan Desember tahun 2018. Puncak
acara ini ditutup dengan Haul Gus Dur dan Pendahulu Kita. Refleksi dari kegiatan
ini bahwa persaudaraan lintas generasi, lintas agama dan
lintas budaya menjadi kajian hangat di berbagai forum diskusi, seminar, opini
di media massa dan juga berbagai pelatihan. Wacana ini seakan menemukan
momentumnya untuk diproduksi ulang mengingat maraknya fenomena gesekan bahkan
konflik lintas suku, agama, dan antar aliran kepercayaan. Selain itu dalam
konteks merayakan perbedaan, idiom kemajemukan (plural) nampaknya lebih bisa
diterima daripada “cap kafir-sesat” karena diksi ini menimbulkan banyak resistensi
di masyarakat dalam membingkai rasa persaudaraan sesama anak bangsa.
Baca : Nge-DAPIL : PILEG vs PILPRES
Persaudaraan lintas generasi,
lintas agama dan lintas budaya memberikan pengandaian adanya kesadaran bagi
setiap komunitas dengan identitas kultural tertentu akan posisinya sebagai
bagian dari harmoni kehidupan yang meniscayakan keragaman dan pluralitas. Titik
tekan pluralitas dan persaudaraan lintas generasi, lintas agama dan lintas
budaya adalah terletak pada domain bangunan kesadaran akan pluralitas
(kemajemukan). Persaudaraan lintas generasi, lintas agama dan
lintas budaya dibangun atas kesadaran kolektif sebuah komunitas yang mengarah
pada pembentukan masyarakat damai sejahtera yang multi etnik, agama dan identitas sosial
kolektif yang lain.
Bacalah : Pendekar 212 Simbol Lama dan Simbol Baru
Kini kita menyaksikan vatsun keragaman bangsa
yang dibentangkan dalam jargon Bhineka Tunggal Ika, robek dan terkoyak. Dari
data yang dihimpun dari berbagai sumber, kasus UJARAN KEBENCIAN, FITNAH, HOAX
(Berita Bohong) dan INTOLERANSI yang berdampak kerusakan dan teror terhadap
pemeluk agama atau sampai terjadi penutupan tempat ibadah hingga mencapai
jumlah fantastis diberbagai wilayah di Indonesia. Ini belum termasuk data
terbaru sampai tahun 2018 ini. Fakta ini menjadi lampu merah bagi bangsa ini
untuk menyiapkan berbagai earli warnig system terhadap potensi konflik ujaran
kebencian, fitnah, hoax (berita bohong) dan intoleransi yang dilihat dari sudut
manapun pasti akan merugikan tidak hanya bagi kelompok minoritas namun juga
bagi kehidupan berbangsa secara umum. Betapa tidak ujaran kebencian, fitnah,
hoax (berita bohong) dan intoleransi akan meruntuhkan bangunan kebersamaan yang
sudah berabad-abad kokoh berdiri. Dengan maraknya konflik ujaran kebencian,
fitnah, hoax (berita bohong) dan intoleransi bangunan itu tidak hanya harus
direkonstruksi dari titik nol namun harus ditata dari titik minus, karena
resistensi, trauma, konflik laten harus menjadi perhatian pertama sebelum
membangun kembali terwujudnya masyarakat yang toleran dan mampu merayakan
perbedaan.
Baca Juga : Melihat Demokrasi dari Jawa Timur
Problem toleransi nyatanya juga tidak hanya
dibutuhkan dalam relasi antar umat beragama. Berbagai konflik lintas keyakinan
yang mucul dalam dekade terakhir juga terjadi di kalangan GENERASI MILENIAL.
Berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan berkenaan dengan keberadaan isu saling sesat
menyesatkan, kafir mengkafirkan juga
hampir mendominasi konflik sosial baik di dunia nyata maupun dunia maya. Sebut
saja kasus yang terjadi hasil temuan dilapangan dari kegiatan Malming Menyapa
Kaum Milenial di beberapa kecamatan telah terjadi polarisasi yang luar biasa
dalam dunia pendidikan, guru yang terang-terangan mengajarkan doktrin ‘jihad”
dengan mengangkat senjata hingga murid yang ingin berhenti sekolah karena ingin
jihad berjuang membela agama ke Syiria bergabung dengan ISIS yang dalam
beberapa waktu yang lalu mengemuka dan itu menjadi keprihatinan mendalam. Hal
ini menunjukkan bahwa kearifan dan kebijaksanaan dalam mendialogkan perbedaan
dan keragaman masih membutuhkan penguatan dari berbagai pihak. Perlu ada satu
transformasi yang dilakukan terus menerus kepada generasi penerus bangsa (Milenial)
untuk menanamkan semangat persaudaraan lintas generasi, lintas
agama dan lintas budaya. Sehingga berbagai problem keyakinan generasi milenial
tidak mudah untuk diarahkan kepada tindak kekerasan dan anarkhis.
Jurus merawat persatuan antar sesama anak bangsa itu bernama ajaran SEDULURAN (baca: persaudaraan). Salam SEDULURAN !
Jurus merawat persatuan antar sesama anak bangsa itu bernama ajaran SEDULURAN (baca: persaudaraan). Salam SEDULURAN !
Selamat Tahun Baru 2018, Kita Sambut Masa
Depan dengan Optimis !!!
Baca : Generasi Zaman NOW bukan Agen Kebencian
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber pengetahuan lokal
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber pengetahuan lokal