Tahun 2018 telah berlalu, babak baru telah
dimulai kembali. 2019 datang beriringan dengan puncak musim hujan seperti yang dirilis
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa Januari sampai dengan
Februari masa Puncak Musim Hujan. Bulan Januari 2019 diprakirakan sebanyak 150
Zona Musim (ZOM) atau 43.9% dan Februari sebanyak 77 ZOM (22.5%). Cuaca yang
sejuk dan prakiraan turunnya hujan di bulan awal tahun merupakan “anugerah” tiada terhingga setidaknya menyadarkan kita agar bersedia payung sebelum hujan tiba setiap hari.
Baca Juga : Yuk !! Sedekah Air HUjan
Perjalanan panjang kampanye pemilihan umum
(pipres dan pileg) sangatlah melelahkan, menguras energi dan tentu membakar
ribuan liter bahan bakar kendaraan (bbm). Lalu lintas dunia maya (medsos) kita
dipenuhi dengan berbagai macam jenis kampanye. Kampanye negatif (negative campaign)
sampai kampanye hitam (black campaign) bertebaran, diproduksi massal,
bermunculan bak nandur pari (tanam padi) muncul suket teki (rumput ilalang).
Klik Lirik : Suket Teki
Istilah kampanye negatif dan kampanye hitam
tidak ditemukan dalam undang-undang pemilihan umum, kedua istilah tersebut
muncul dalam terminologi politik. Kampanye negatif (negative campaign) berupa
aktivitas kampanye dengan jalan menjelaskan capaian-capaian lawan yang
sebenarnya bertentangan dengan fakta-fakta dilapangan. Ada adu strategi dan
saling kritik-otokritik positif melalui
berbagai macam media kampanye. Kampanye hitam lebih banyak manampilkan kampanye yang tidak
menyajikan fakta-fakta, cara berkampanye dengan mengarah tindak pidana seperti
fitnah, caci-maki dan cenderung eksploratif. Meminjam istilah Abdillah Toha bahwa
kini kampanye telah bergeser dari adu gagasan dan program ke debat kusir yang
menonjolkan kampanye hitam keburukan lawannya dan kehebatan superfisial calon
yang didukungnya.
Baca : NgeDAPIL : PILPRES vs PILEG
Apa yang terjadi dengan sistem pemilihan umum
kita ? apakah demokrasi melalui one man one vote lebih efektif atau kita sedang
terus berusaha keras menuju pemilihan umum yang benar-benar demokratis sehingga masyarakat memilih dengan tenang dan damai tanpa melalui paksaan apalagi
tindakan intimidatif berupa teror dan ancaman. Rentetan pertanyaan itu akan
dijawab dikemudian hari bila pemilihan umum tidak lagi menjadi sekedar sarana
mengisi jabatan-jabatan publik atau berebut kekuasaan semata. Sistem kampanye
yang diatur sedemikian rupa tetap harus memberikan ruang besar untuk pendidikan
politik yang baik dan benar terhadap warga negara.
Baca Juga Desember, Gus Dur, Natal dan Tahun Baru
Kini kita menyaksikan dipohon-pohon, tiang-tiang listrik, mobil-mobil, kabel-kabel telephone, tembok-tembok rumah warga, sepanjang
jalan bermunculan aneka rupa gaya dan senyum ramah “tanpa lelah” para calon
pemimpin lokal maupun nasional. Patut kita berbangga bila ada calon eksekutif
maupun legislatif yang “pantang” memasang gambar-gambar dirinya di pohon-pohon,
sikap ini mencerminkan dari perilaku calon yang memiliki wawasan luas tentang
arti pentingnya merawat alam dan bersahabat dengan lingkungan. Kampanye dengan berlomba-lomba memasang gambar poster dipohon sama saja dengan menjadikan calon tersebut
berebut simpati untuk menjadi penunggu pohon. Ingat bahwa pemilihan umum tidak
melibatkan pepohonan apalagi melibatkan tembok-tembok dinding untuk menjadi
peserta pemilu, maka segera bergeserlah dari logika merusak menjadi logika
merawat.
Kampanye negatif adalah hal wajar bila
disajikan dengan fakta dan data, adanya ketidak cocokan atau berpindahnya
dukungan merupakan kewajaran bila didukung dengan fakta-fakta. Menjadi berbahaya bila kampanye hitam menjadi pedoman ketika seseorang mendukung calon eksekutif
mapun legislatif dengan semata-mata hanya berdasarkan ketidaksukaan dan prasangak
buruk, fitnah dan hasutan. Sikap rasionalitas pilihan pemilih bagian dari sikap
demokrasi itu sendiri, sudah tidak relevan bila pilihan sikap politik pemilih di"kerangkeng" atau ditentukan hanya berdasarkan atas perilaku LIKE and DISLIKE tanpa visi ?.
Selamat Sore, Jangan Lupa NGOPI !!