Kontestasi pemilu semakin dekat, dinamika
politik dipentas nasional maupun kontestasi dilokal semakin sengit dan
dipastikan tidak bisa dihindari “bentrok” gagasan, strategi dari masing-masing
peserta pemilu. 101 hari lagi pelaksanaan pemilihan umum digelar, waktu yang
tidak lama dari proses menegakan kedaulatan rakyat dimana mandat “suara” rakyat diberikan untuk mengisi jabatan-jabatan publik.
Sudah sangat jelas penjelasan dalam
undang-undang pemilu dimana pemilihan umum merupakan sarana kedaulatan rakyat
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, yang dialaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bermunculan berbagai macam jenis berita
bohong (hoax), merupakan tantangan tersendiri dalam proses pemilihan umum tahun
2019. Tidak mudah mengidentifikasi sesuatu hal yang berdasarkan “viral” media
sosial. Masih ingat dan segar dalam ingatan kita ketika kontestasi pemilihan
umum tahun 2014 dimana “heboh” ada sebuah alat yang mampu merubah bahkan mampu
membalikkan hasil sebuah data pemilu. Kehebohan berlanjut dengan proses sengit
rebound elektabilitas pada waktu menjelang pemilihan. Allahu ’alam.
Tiga bulan tidaklah lama dalam sebuah
kontestasi menentukan pemimpin nasional dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap
Hasil Perbaikan (DPTHP) sebanyak 185.084.629 (baca: seratus delapan puluh lima
juta delapan puluh empat ribu enam ratus dua puluh sembilan) orang dan jumlah
Tempat Pemungutan Suara (TPS) 805.068 (Kompas, 16/09/2018).
Kini jumlah DPT telah berubah setelah dilakukan perbaikan tahap 2 menjadi 192.828.520 orang dengan jumlah TPS 809.500 dan jumlah pemilih luar negeri 2.058.191 orang (Tribunnews, 15/12/2018). Angka-angka DPT ini adalah angka “krusial” yang selalu menjadi “bahan komoditi” politik dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum. Tidak hanya daftar pemilih, potensi lain rentan terhadap menilai kualitas pemilihan umum adalah serangan bertubi-tubi kepada penyelenggara pemilihan umum. Rasa-rasanya serangan itu sudah dimulai dengan bertebarannya aneka rupa hoax. Masih ingat ketika di tahun lalu beramai-ramai viral para penyelenggara pemilu berlomba-lomba membuat video menguji kekuatan kotak suara terbuat dari kardus. Video-video viral “uji kardus” itu adalah merupakan jawaban positif atas cuitan-cuitan (baca:kritik medsos) dari politisi yang mempertanyakan kualitas dari kotak suara tersebut, meski tidaklah perlu ditanggapi dengan pola dan kekonyolan yang berlebihan apalagi sampai dengan masuk kedalam kardus digotong rame-rame..hehe..peace dech. Hoax terus diproduksi massal, dan di sebarkan secara terstruktur dan masif untuk menguji “nyali” seberapa loyal para pendukung setianya untuk memviralkan dan melakukan polarisasi tindakan terstruktur dan tentu melihat lebih jauh kualitas dari pemilihan umum itu sendiri.
Kini jumlah DPT telah berubah setelah dilakukan perbaikan tahap 2 menjadi 192.828.520 orang dengan jumlah TPS 809.500 dan jumlah pemilih luar negeri 2.058.191 orang (Tribunnews, 15/12/2018). Angka-angka DPT ini adalah angka “krusial” yang selalu menjadi “bahan komoditi” politik dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum. Tidak hanya daftar pemilih, potensi lain rentan terhadap menilai kualitas pemilihan umum adalah serangan bertubi-tubi kepada penyelenggara pemilihan umum. Rasa-rasanya serangan itu sudah dimulai dengan bertebarannya aneka rupa hoax. Masih ingat ketika di tahun lalu beramai-ramai viral para penyelenggara pemilu berlomba-lomba membuat video menguji kekuatan kotak suara terbuat dari kardus. Video-video viral “uji kardus” itu adalah merupakan jawaban positif atas cuitan-cuitan (baca:kritik medsos) dari politisi yang mempertanyakan kualitas dari kotak suara tersebut, meski tidaklah perlu ditanggapi dengan pola dan kekonyolan yang berlebihan apalagi sampai dengan masuk kedalam kardus digotong rame-rame..hehe..peace dech. Hoax terus diproduksi massal, dan di sebarkan secara terstruktur dan masif untuk menguji “nyali” seberapa loyal para pendukung setianya untuk memviralkan dan melakukan polarisasi tindakan terstruktur dan tentu melihat lebih jauh kualitas dari pemilihan umum itu sendiri.
Sebenarnya siapakah penyelenggara pemilihan
umum ? undang-undang pemilu menjelaskan bahwa lembaga yang menyelenggarakan
pemilihan umum terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Ujian terberat bagi penyelenggara dalam
menangkal hoax tidak hanya akan berdampak pada kualitas tingkat “keterpercayaan”
masyarakat pada kualitas pemilihan umum bahkan akan medagradasi secara frontal (menolak)
sejak awal dari hasil pemilihan umum itu sendiri. Tugas berat ini tidak hanya
bagi penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) sebagai pemilik “hajatan”
kedaulatan rakyat, peran serta masyarakatlah diperlukan juga untuk tidak
memviralkan berita-berita yang belum terverifikasi. Bila perlu tradisi tabayyun (baca:verifikasi/teliti) dibiasakan dalam kontestasi pemilihan umum agar kita benar-benar menikmati dari
buah kedaulatan rakyat sesungguhnya. Salam Berdaulat !!
Baca Juga Nge-DAPIL: PILEG vs PILPRES
Terdengar sudah sayup-sayup suara TOA hingga
menembus lorong-lorong lantai 5 hotel aria gajayana bukan aria kamandanu si tokoh fiksi itu lho ya..hehe. Ini pertanda bahwa waktu
sudah pagi. Suara ayam berkok tapi belum muncul...kukuruyukk..hihi
Selamat
berakhir pekan, jangan lupa NGOPI-LAH