e6GvGCdbTzFsmYvH0IfUvnO72MWscluP9AUkD1SU

KARBALA VISI KEMANUSIAAN BUKAN VISI "KEKUASAAN"


Malam ini tepat 10 Muharam 1441 H sepuluh hari dari perayaan Tahun Baru Hijriyah. Banyak status diberanda teman menandakan bahwa berpuasa adalah kebaikan dan tentu kita bersyukur memiliki kontak-kontak handphone yang saling mengingatkan dalam kebaikan. Kebaikan-kebaikan yang diproduksi secara massal dan viral maka akan bertebaran keberkahan bagi semesta, sejuk seperti malam ini sambil menikmati vietnam drip diwarung kopi tepi jalan nasional. Bukankah kita didoktrin sejak dalam kandungan bahwa menanam kebaikan akan dipetik buah kebaikan dikemudian hari.
Selamat berbuka puasa bagi yang melaksanakan ibadah puasa sunnah tasu'a, dan besok puasa asyura atau dikenal dengan puasanya orang-orang yang saleh sosial. Kata guru ngaji bahwa kita terkadang sibuk dengan kesalehan individu lupa dengan kesalehan sosial, apa itu kesalehan sosial ? kesalehan yang tidak lagi melakukan kebaikan untuk dipuji Tuhan (baca:ibadah vertikal) bahkan kesalehan sosial (baca:ibadah horisontal) ini perlu disembunyikan tanpa harus tangan kanan memberi dan tangan kiri sampai mengetahui. Konteks syiar berbeda dengan konteks kesalehan sosial, justru disinilah bahwa kita terkadang memproduksi syiar tapi tidak menutup kesedihan yang lain. Begitulah ujar guru ngaji sambil menelpon seseorang politisi diseberang sana, mengingatkan pentingnya hari esok untuk berbuat kebaikan agar kabul kajate...mantap dach.
Bagi penulis malam ini malam istimewa, bahwa 10 Muharram 1441H berbarengam dengan 10 September 2019, sangat langka dimana bulan Hijriyah bergandengan persis dengan kalender Masehi. Kebaikan 10 Muharram apakah akan menjadi medan juang bagi para pecinta "keberkahan" ? semoga.
Peristiwa kebaikan sosial (baca:ibadah sosial) di 10 Muharram akan menjadi momentum yang luar biasa dimana yang mampu secara ekonomi membantu anak-anak dan dhuafa yang sedang berduka. Ajaran-ajaran kebaikan beragama itu penuh simbol tidak hanya sekedar dibaca tekstual perlu menkonstektualkan simbol ajaran beragama, simbolisasi bahwa mengusap kepala anak-anak tanpa ayah dan ibu saja menjadi sebuah berkah kebaikan, apalagi melakukan aksi nyata menyantuni dengan meringankan beban kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Jangan sampai keliru dalam mengkontekstualkan ajaran beragama, ingat kepala anak-anak yang penuh lugu tanpa dosa dipertontonkan hanya untuk sebuah syiar yang membabi buta agar terlihat mulia di mata makhluk-Nya. Tidak mudah merubah "eksploitasi" yang terus dipelihara hanya untuk sebuah citra kebaikan figur. Embuhlah...teguk dulu kopinya ya..
Peristiwa sejarah kebudayaan Islam menggambarkan bahwa 10 Muharram 61H peristiwa penting yang tidak bisa dilupakan begitu saja dalam perjalanan panjang beragama (baca:Islam), sejarah panjang itu selalu mengulang tentang perebutan sebuah kekuasaan. Kekuasaan sepertinya selalu di gambarkan sebagai sebuah perjuangan yang harus direbut, di kuasai, ditanamkan dalam benak-benak bayi yang baru lahir. Peristiwa "KARBALA" (baca:wafatnya cucu pujaan hati setiap insan manusia), Alfatihah... selalu digambarkan sebagai peristiwa yang "membelenggu" kesalehan sosial dan mendoktrin bahwa peristiwa itu merupakan sekali lagi soal "perebutan kekuasaan". Ditengah kemiskinan, kelaparan, dan bertebarnya dhuafa ummat, tidak relevan untuk membenturkan bahwa 10 Muharram merupakan sejarah kekuasaan semata. Pelajaran terpenting bahwa dikemudian hari, sejarah perlu dikaji dari sisi kemanusiaan tidak lagi menjadikan sejarah untuk memecah belah persatuan dan kesatuan, menebar teror kebencian dengan dalih jihad agama apapun. Bagaimana dengan era kekiniaan ? Jihad milenial bukan sekedar "sibuk" merebut kekuasaan (baca:jabatan eksekutif-legislatif), melihat lebih dalam kemanusiaan yang terinjak dan keberagaman yang terkoyak lebih utama dari sekedar KEKUASAAN an sich. Pesan WAG tiada berhenti, masih sibuk membincangkan tentang Kekuasaan Lokal kompetisi 2020, sebegitu pentingkah kekuasaan ? hingga lupa bahwa keluarga dan Sahabat Ali Bin Abi Thalib contoh teladan sepanjang masa yang menolak dibaiat sebagai Khalifah Keempat. Dalam kisah sejarah sesaat setelah Sayyidina Utsman bin Affan wafat para sahabat senior Nabi Muhammad SAW dari berbagai kalangan Muhajirin dan Anshar “melobby” dengan jalan silaturahim ke rumah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka memberikan keyakinan bahwa yang paling pas, pantas dan berhak menjadi Khalifah keempat adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka mendesak Sayyidina Ali bin Abi Thalib agar bersedia dibaiat. Umat tidak boleh terlalu lama tanpa pemimpin. Terlebih setelah terjadi pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah ketiga, di beberapa wilayah kekuasaan Islam. Sayyidina Ali dipilih karena kedudukan dan hubungannya yang begitu dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Di samping dia termasuk golongan pertama yang masuk Islam (assabiqunal awwalun). Namun pada saat itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib menolak untuk dibaiat.  Jangan! Lebih baik saya menjadi wazir daripada amir,” kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengelak. Disinilah kita memahami bahwa para sahabat menjauh dari kekuasaan semata untuk menyelamatkan misi yang lebih besar yaitu kamanusiaan dan mempersatukan keberagaman yang terkoyak...hemm...teguk lagi kopinya....
Tetiba alarm mengingatkan bahwa Ngopi Malam 10 Muharram harus segera berakhir, karena kini dan esok harus tetap NKRI Harga Mati ! Selamat menjalankan kebaikan asyura, jangan lupa NGOPI !
Related Posts

Related Posts