Selamat malam dumay (baca: dunia maya), malam semakin
larut bumi terus berputar pada porosnya dan gravitasi tetap menjadi magnet agar
penghuninya tetap terjaga dari menginjak bumi. Bulan purnama semakin
cerah sedangkan angin malam semakin berhembus kencang, hingga kipas angin ditengah ruang tamu itu tidak lagi berputar dalam status
off..hehe...sudahkah ada meng-offkan handphone seharian ini dari lelahnya
aktivitas ? tentu obat melawan lelah ada bahagia, bahagia hatinya, bahagia
tetangganya karena memuliakan tetangga adalah bagian dari pokok keimanan dasar
bagi hamba-hamba yang bertuhan...untuk apa umrah berkali-kali bahkan haji berkali-kali bila kemiskinan terjadi sekitar kehidupan kita. Kata guru ngaji dikampung lebih mulia orang beribadah horisontal (ibadah sosial, peduli pada sosial keummatan) daripada ibadah individual (haji, umroh, dll) bukahkah begitu malam ?.
Sambil santai melepas lelah, penulis coba membaca
sebuah notifikasi pesan panjang dari sebuah media sosial, dimana pesan kesan
panjang itu sedang membincang hangatnya dalam dinamisnya jalan politik lokal
yang sedang terjadi di 19 kota/kabupaten se-Jawa Timur yang akan
melaksanakan pilkada serentak tahun 2020. Ya, Jawa Timur termasuk
Provinsi yang tidak berkesudahan dalam kontestasi pemilihan umum. Sejak 2018
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, hingga 2019 Pemilihan Umum dan tahun
mendatang Pilkada Serentak. Sepertinya lagi-lagi Jawa Timur diuji dalam bentuk
demokrasi lokal yang tiada henti alias “bombardir demokrasi”. Apakah Jawa Timur
mampu mewujudkan kelasnya seperti tahun 2018 dan 2019 ?..mari Cak kita buktikan
!!!.
Politik Kekuasaan (praktis) merupakan hak bagi setiap
individu untuk mengaktualisasikan dirinya terlibat baik pasif maupun secara
aktif. Setiap anak bangsa berhak berkompetisi dipilih dan tidak dipilih
untuk menjadi contoh terbaik dalam setiap kompetisi. Jawa Timur telah
memberikan catatan terbaik dalam pesta demokrasi lokal, tidak ada warga Jawa
Timur yang “FANATIK SECARA BATHIN” dalam menentukan pilihan politik, pemilu yo pemilu wes yowes gak usah digowo
nang jero ati koyok arek cilik ae purik’an (pemilu selesai ya selesai
semuanya tidak perlu dimasukkan hati kayak anak kecil aja suka ngambek/ngamuk)
begitulah kata seorang teman aktivis bintang sembilan sambil menikmati es kopi
malam.
Membicang bintang sembilan (Nahdlatul Ulama) dalam
kontestasi politik praktis sejarahnya selalu menang, tidak pernah NU secara kelembagaan
dimanapun dan tingkatan hirarki manapun menyatakan secara tertulis
dukung-mendukung calon pemimpin atau perebutan kekuasaan, meminjam istilah
kerennya NU itu berpolitik diatas politik kekuasaan, atau partisan yaitu
politik kebangsaaan apa itu politik kebangsaan ? politik dimana keutuhan NKRI
adalah satu-satunya diatas kepentingan individu-individu pengurus dan jamaahnya.
Baca Juga : Demokrasi Jawa Timur Setelah Peperangan Jakarta
Kenapa harus NKRI Harga Mati ? karena warga NU hidup
dinegara yang sudah sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Anda bebas
beribadah, anda bebas hidup berkeluarga, anda bebas hidup bermasyarakat tanpa
harus dibawah hunusan senjata tajam layaknya dinegara-negara timur tengah.
Masihkah anda memimipikan negeri ini seperti timur tengah "Suriah" yang kini telah mati "Suri" ? karena timur tengah
hancur akibat konflik berdasar pemahaman politik dan agama yang “EGOIS” dibarengi dengan bumbu perebutan geopolitik internasional dalam perebutan "minyak" sebagai sumber energi.
Nahdlatul Ulama menjaga NKRI tanpa syarat, artinya pengurus-pengurus Nahdlatul Ulama bahkan Jamaahnya rela tidak “BEREBUT” jabatan
kekuasaan setingkat RT-pun hanya untuk kepentingan kebersamaan dalam
keberagaman karena paham betul apa itu Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda Tapi Tetap Satu Jua).
Cobalah anda sesekali menetap diperumahan yang masyarakatnya heterogen (beda
agama, beda suku, beda ras, dll) maka anda akan menemukan karakter sejati
masyarakat majemuk Indonesia dimana dalam suka (hajatan, mantenan, dll) atau
dalam duka (kematian, kecelakaan, dll) saling jenguk dan saling bantu membantu
tanpa pamrih. Inilah yang Nahdlatul Ulama perjuangan, kearifan lokal atau
kebaikan lokal yang terus dipelihara tanpa harus menjadi asing dengan budayanya
dinegeri sendiri.
Baca Juga : Politik Renyah Kriuk-Kriuk
Pemilihan Bupati (PILBUP), jabatan pembantu (baca:menteri) itu kecil, bukan soal
berebut cari nafkah apalagi berebut posisi kekuasaan karena sejatinya sejak
dulu diyakini dalam sanubari bahwa Santri (NU) itu Unggul untuk Indonesia
Makmur, meminjam istilah filsafat Jerman Kant
dan Hegel bahwan relasi yang tejadi NU
dan Kekuasaan itu an sich. Banggalah
Ber-NU tanpa harus pakai peci berlogo bintang sembilan apalagi memasang baliho gambar diri berlogo bintang sembilan disepanjang tepian jalan raya. Selamat Hari-hari Penting Nasional, Hari Santri Nasional, Hari Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan Nasional dan Jangan Lupa Sambut Hari Mulia dengan Bersholawat atas Lahirnya Pemimpin Penggerak Kebaikan Seluruh Alam !!!