e6GvGCdbTzFsmYvH0IfUvnO72MWscluP9AUkD1SU

SERTIFIKAT LAYAK KAWIN CENDOL DAWET


Siang-siang panas begini enaknya minum es cendol dawet, diambil dari gentong disajikan dengan mangkuk dari tanah liat dinikmati dibawah pohon kelapa sambil lihat kanan kiri hamparan sawah milik orang lain..haha.
Cendol dawet ini sempat ngetrend lho, bahasa kekinian mengandung viral dengan harapan merubah pola bahasa dangdut yang ke”porno aksi” dirubah menjadi bahasa yang mudah dipahami anak-anak agar mengarah kepada jargon positif begitulah kata Abah Lala seniman asal Boyolali. Beberapa kalimat yang terdengar dijalanan dinyanyikan anak-anak kecil kurang lebih “Cendol dawet, cendol dawet seger, lima ratusan gak pake ketan. Ji, ro, lu, pat, limo, enem, pitu, wolu. Tak kintang-kintang, tak kintang-kintang, lololo, ngono lho”.
Ada apa dengan dengan Cendol Dawet ? sebelum lebih jauh sudahkah anda minum cendol dawet ? atau hanya melihat di youtube seperti apa itu cendol dawet ? hingga lupa bahwa ditepian sepanjang jalur jalan raya berjejer penjual cendol dawet, sesekali mampirlah berhenti dipinggir jalan agar lidah anda terbiasa dengan minuman “khas” nusantara tetap terjaga dan lestari tidak kalah dengan minuman berlabel enggris, tapi apa ya bahasa asingnya cendol dawet ? ...hemm..kalo bakwan menjadi back one atau pangsit menjadi punk shit cendol dawet menjadi apa ya?..selamat berfikir.
Awan mendung, panas terik pertanda bahwa alam semakin dinamis. Sejak pagi dikantor itu lalulalang penuh dengan orang-orang yang sedang “bersengketa” entah memperjuangkan diri atau melawan ketidakadilan “Versi” kebenaran masing-masing yang terjadi. Jelaslah bagi penulis tidak perlu kepo untuk tahu lebih detail apa dan dalam rangka apa mereka lalulalang untuk bersidang mengugat cerai ? konon gedung itu menerima berkas permohonan perceraian 600 sampai 700 berkas setiap bulan. Wow..angka fuantastis  dari sebuah sengketa “sidang”, mediasi sudah tidak mampu lagi menjawab fenomena yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat yang semakin kompleks ditengah arus perkembangan kehidupan bermasyarakat yang “materialistis” contoh ini terjadi disebuah daerah yang masyarakatnya konon religius (pengamal agama), entahlah data statistik juga "mengamini" berbicara bahwa angka pernikahan semakin tinggi sedangkan angka rujuk stagnan dan angka talak atau cerai meningkat drastis. Artinya bahwa rujuk (mediasi) bukan lagi solusi ditengah himpitan kehidupan masyarakat dalam menentukan arah berkeluarga.
Sebagai anak bangsa perlu setidaknya meluangkan waktu untuk  sedikit menjawab dari fenomena gunung es yang suatu saat akan mencair bahkan menjadi bencana yang sulit dibendung hingga merubah drastis terhadap pola fikir tentang ikatan suci bernama pernikahan. Pemberlakuan suscatin (kursus calon pengantin) adalah ikhtiar positif, dan calon pengantin yang selesai mengikuti kursus calon pengantin diberikan sertfikat layak menikah. Ada hal yang tidak kalah penting dalam proses suscatin yaitu adanya pemantapan ideologi bernegara dan mengenal lebih jauh akan substansi pancasila, hingga dikemudian hari lahirlah bayi-bayi yang tidak hanya beragama tetapi bayi yang mencintai NKRI sejak dalam kandungan. Penting juga pelibatan organisasi-organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang terverifikasi atau terdaftar di negara dan ormas yang benar-benar menjadikan pancasila sebagai ideologi negara dalam peningkatan kapasitas calon pengantin sebagai media dan sarana belajar bermsayarakat sebelum benar-benar terjun menjadi masyarakat sebenarnya. 
Menumbuhkan kesadaran kolektif memang tidak mudah, apalagi menyadarkan bahwa “Sidang PA” bukan solusi menjawab dinamika biduk rumah tangga di era kekinian meski agama apapun tidak melarangnya. Selamat siang, “Cendol dawet, cendol dawet seger, lima ratusan gak pake ketan. Ji, ro, lu, pat, limo, enem, pitu, wolu. Tak kintang-kintang, tak kintang-kintang, lololo, ngono lho”. NGOPI-Lah !
Related Posts

Related Posts