e6GvGCdbTzFsmYvH0IfUvnO72MWscluP9AUkD1SU

WADUK (sia) BANTARKAWUNG, LAWAN !


Sore mendung tetiba turun hujan membasahi lahan pertanian, air sungai mulai meluap sebagian petani mulai meninggalkan ladang pertanian, pengembala bergegas segera pulang, ditepian aliran sungai anak-anak muda masih bermain dengan bola bundar dilapangan tepi sungai sambil sesekali berlarian mengejar simet (belalang gurih). Itulah dulu sekilas salah satu aktivitas sore di sebuah desa dimana kini media sosial (facebook, whatsapp, dll) telah menggantikan peran harmoni dengan alam itu sendiri.
Sore yang sejuk ini disertai turun hujan yang cukup deras, suasana Malang Kota Bunga (makobu) yang beberapa hari panas kini menjadi segar kembali, setiap tetes air hujan adalah sumber kehidupan yang patut disyukuri. Karena hujan selalu memberikan pesan terbaik bagi aktivitas manusia (petani, penggembala, buruh, kuli, pegawai, dsb) agar berhati-hati dalam beraktivitas dan ingat bahwa dalam bekerja ada waktu untuk beristirahat. Got atau selokan di depan kantor tidak dapat menampung limpahan air hujan, seketika air membanjiri jalanan dan menggenangi teras, itulah sifat air akan mencari jalannya dengan caranya sendiri, maka kurangilah aktivitas membendung aliran air apalagi membuang sampah sembarangan. Menumbuhkan cinta lingkungan memang harus dimulai dari lingkungan terkecil, kalo bukan dimulai dari sekarang kapan lagi ?.
Tetiba muncul pesan singkat whatsapp dari seorang teman lama mengabarkan bahwa telah terjadi aksi demonstrasi tentang penolakan rencana pembangunan waduk (bendungan) raksasa di wilayah kecamatan Bantarkawung kabupaten Brebes Jawa Tengah. Hemm..dengan menghela nafas panjang sambil membaca link berita yang dikirimkan, penulis merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk WARGA BANTARKAWUNG khususnya dan Warga Brebes Selatan umumnya untuk BERANI bersuara lantang menyuarkan apa yang selama ini “terpendam” dalam menyampaikan aspirasi baik skala lokal (kabupaten), skala regional (provinsi) dan skala Nasional bila perlu suara lantang itu di dengar oleh DUNIA INTERNASIONAL. Apakah ini mimpi ? tidak, bahwa ditengah kemiskinan, perekonomian warga desa yang tidak stabil, kaum marjinal yang menyebar di desa-desa Brebes wilayah selatan tanpa perhatian bertahun-tahun tetiba disuguhi dengan MENU WADUK, konon pembangunan waduk akan dibangun di desa Sindangwangi entahlah logika apa yang dijadikan dasar atas pembangunan waduk ini karena memang proses dan tahapannya tidak terbuka untuk publik. Sampai dimana uji publik apakah sudah lulus uji publik ?...entahlah  
Apakah waduk menjadi prioritas pembangunan daerah ? atau menjadi prioritas pembangunan strategis nasional ? dalam hal ini kabupaten Brebes “seharusnya” tidak butuh pembangunan waduk, bukankah data Badan Pusat Statistik (BPS) sangat jelas terbaca bahwa  Indek Pembangunan Manusia (IPM) Brebes menduduki peringkat terakhir dari 35 kabupaten/kota se-Jawa Tengah. IPM itu hal mendasar dimana angka harapan hidup, literasi/melek huruf, pendidikan,  dan standar hidup atau kulaitas hidup sangat rendah dibawah standar se-Jawa Tengah inilah yang sebenarnya “PR” harus dikerjakan terlebih dahulu daripada mewujudkan sebuah waduk yang akan berdampak secara ekologis, ekonomis dan mengakibatkan lahirnya kemiskinan secara struktural hingga perampasan ruang-ruang hidup rakyat. Semoga sadar !
Jerat kemiskinan dan kualitas layak hidup yang dimiliki masyarakat jangan sampai diberi beban baru dengan munculnya pembangunan waduk, sebelum dipastikan bagaimana penanganan dampak sosial kemasyarakatan pembangunan waduk ? sangat gegabah bila pembangunan waduk tanpa melalui proses tahapan-tahapan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam proses perencanaan hingga regulasinya. Secara ekologis bila dibangun waduk bagaimana ketika musim kemarau tiba apakah debit air akan stabil ? dari sini saja rasionalisasi untuk mensejahterakan petani adalah pepesan kosong alias omong kosong.  
Belajar dari pembangunan waduk di daerah-daerah lain bahkan di dunia ketiga (negara-negara berkembang), bahwa yang tetap dirugikan adalah warga masyarakat yang berada di daerah terdampak tersebut. Beberapa pertanyaan mendasar yang harus menjadi perhatian; Apakah harus kehilangan desa-desa yang memiliki nilai historis tinggi, dengan alam yang sejuk dan indah memiliki potensi roda ekonomi tinggi bila di “rawat” dengan baik di wilayah kecamatan Bantarkawung ? Apakah warganya kelak di relokasi atau di imigrankan dengan imbal kompensasi ganti rugi yang manusiawi?  Maka belajarlah dari daerah-daerah yang berani MENOLAK bahkan MELAWAN untuk mempertahankan dan merawat sebuah kehidupan yang sudah harmoni dengan alam. Pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) harus melihat dan mendengar  bahwa suara rakyat adalah suara kebenaran. Jangan sampai rakyat berucap etamah WADUK SIA KEHED !
*penulis adalah warga yang tidak mau kehilangan kampung halamannya dan founder Brebes Kidul Institute
Related Posts

Related Posts