Sore mendung tetiba turun hujan membasahi
lahan pertanian, air sungai mulai meluap sebagian petani mulai meninggalkan ladang
pertanian, pengembala bergegas segera pulang, ditepian aliran sungai anak-anak muda
masih bermain dengan bola bundar dilapangan tepi sungai sambil sesekali
berlarian mengejar simet (belalang gurih).
Itulah dulu sekilas salah satu aktivitas sore di sebuah desa dimana kini media
sosial (facebook, whatsapp, dll) telah menggantikan peran harmoni dengan alam
itu sendiri.
Sore yang sejuk ini disertai turun hujan
yang cukup deras, suasana Malang Kota Bunga (makobu) yang beberapa hari panas
kini menjadi segar kembali, setiap tetes air hujan adalah sumber kehidupan yang
patut disyukuri. Karena hujan selalu
memberikan pesan terbaik bagi aktivitas manusia (petani, penggembala, buruh, kuli,
pegawai, dsb) agar berhati-hati dalam beraktivitas dan ingat bahwa dalam bekerja
ada waktu untuk beristirahat. Got
atau selokan di depan kantor tidak
dapat menampung limpahan air hujan, seketika air membanjiri jalanan dan
menggenangi teras, itulah sifat air akan mencari jalannya dengan caranya
sendiri, maka kurangilah aktivitas membendung aliran air apalagi membuang
sampah sembarangan. Menumbuhkan cinta lingkungan memang harus dimulai dari
lingkungan terkecil, kalo bukan dimulai dari sekarang kapan lagi ?.
Tetiba muncul pesan singkat whatsapp dari
seorang teman lama mengabarkan bahwa telah terjadi aksi demonstrasi tentang
penolakan rencana pembangunan waduk (bendungan) raksasa di wilayah kecamatan Bantarkawung
kabupaten Brebes Jawa Tengah. Hemm..dengan menghela nafas panjang sambil
membaca link berita yang dikirimkan, penulis
merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk WARGA BANTARKAWUNG khususnya dan
Warga Brebes Selatan umumnya untuk BERANI bersuara lantang menyuarkan apa yang
selama ini “terpendam” dalam menyampaikan aspirasi baik skala lokal
(kabupaten), skala regional (provinsi) dan skala Nasional bila perlu suara
lantang itu di dengar oleh DUNIA INTERNASIONAL. Apakah ini mimpi ? tidak, bahwa ditengah kemiskinan,
perekonomian warga desa yang tidak stabil, kaum marjinal yang menyebar di desa-desa Brebes
wilayah selatan tanpa perhatian bertahun-tahun tetiba disuguhi dengan MENU
WADUK, konon pembangunan waduk akan dibangun di desa Sindangwangi entahlah
logika apa yang dijadikan dasar atas pembangunan waduk ini karena memang proses
dan tahapannya tidak terbuka untuk publik. Sampai dimana uji publik apakah
sudah lulus uji publik ?...entahlah
Apakah waduk menjadi prioritas
pembangunan daerah ? atau menjadi prioritas pembangunan strategis nasional ?
dalam hal ini kabupaten Brebes “seharusnya” tidak butuh pembangunan waduk, bukankah
data Badan Pusat Statistik (BPS) sangat jelas terbaca bahwa Indek Pembangunan Manusia (IPM) Brebes
menduduki peringkat terakhir dari 35 kabupaten/kota se-Jawa Tengah. IPM itu hal
mendasar dimana angka harapan hidup, literasi/melek huruf, pendidikan, dan standar hidup atau kulaitas hidup sangat
rendah dibawah standar se-Jawa Tengah inilah yang sebenarnya “PR” harus
dikerjakan terlebih dahulu daripada mewujudkan sebuah waduk yang akan berdampak
secara ekologis, ekonomis dan mengakibatkan lahirnya kemiskinan secara
struktural hingga perampasan ruang-ruang hidup rakyat. Semoga sadar !
Jerat kemiskinan dan kualitas layak hidup
yang dimiliki masyarakat jangan sampai diberi beban baru dengan munculnya pembangunan
waduk, sebelum dipastikan bagaimana penanganan dampak sosial kemasyarakatan
pembangunan waduk ? sangat gegabah bila pembangunan waduk tanpa melalui proses
tahapan-tahapan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam proses
perencanaan hingga regulasinya. Secara ekologis bila dibangun waduk bagaimana
ketika musim kemarau tiba apakah debit air akan stabil ? dari sini saja
rasionalisasi untuk mensejahterakan petani adalah pepesan kosong alias omong kosong.
Belajar dari pembangunan waduk di
daerah-daerah lain bahkan di dunia ketiga (negara-negara berkembang), bahwa yang tetap dirugikan adalah warga masyarakat yang
berada di daerah terdampak tersebut. Beberapa pertanyaan mendasar yang harus
menjadi perhatian; Apakah harus kehilangan desa-desa yang memiliki nilai historis
tinggi, dengan alam yang sejuk dan indah memiliki potensi roda ekonomi tinggi bila
di “rawat” dengan baik di wilayah kecamatan Bantarkawung ? Apakah warganya kelak
di relokasi atau di imigrankan dengan
imbal kompensasi ganti rugi yang manusiawi? Maka belajarlah dari daerah-daerah yang berani
MENOLAK bahkan MELAWAN untuk mempertahankan dan merawat sebuah kehidupan yang sudah
harmoni dengan alam. Pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) harus melihat
dan mendengar bahwa suara rakyat adalah
suara kebenaran. Jangan sampai rakyat berucap etamah WADUK SIA KEHED !
*penulis adalah warga yang tidak mau kehilangan kampung halamannya dan founder Brebes Kidul Institute